Kau, Aku dan Mimpi
“Kau tahu bahwa cintaku padamu selamanya tak kan
berubah,” katamu.
“Bukankah selamanya itu pun akan berubah?” tanyaku.
“Ya, berubah untuk selalu ada untukmu..”
“Bukankah selamanya itu pun ada batasnya? Dan jika
cinta itu dalam, sedalam apakah cinta itu? Dan bagaimana dapat diukur?” kataku lagi. Kau mengetuk
dahimu dan tersenyum.
“Kau tanyakan hal yang tak bisa hanya dikatakan tapi
dilakukan.”
Aku mendongak menatap langit yang kelam. Sungguh,
malam ini aku ingin sekali melihat bintang.
“Kenapa?”
Aku hanya diam. Memejamkan mataku. Tapi, aku tahu
kau mengerti bahwa dalam diam kita pun bisa bicara.
“Aku besok akan pergi.” Katamu sambil memukulkan
batang ranting ke tanah. Aku tahu itu karena kudengar suaranya. Menyentuh
kulitku.
“Berapa lama?” kataku. Aku membuka mataku. Kulihat
kau menulis sesuatu di tanah dengan batang ranting yang kau pegang. Aku tahu
kau selalu lakukan itu kalau kau sedang risau. Kau khawatir jika kau harus
pergi lama ke kota. Kau takut aku akan melupakanmu dan tidak menunggumu. Meski kau
tahu, kau pergi untuk belajar demi memajukan desa kita.
“Paling lama empat tahun. Kuharap aku bisa
menyelesaikan sekolahku sebelum empat tahun. Jadi aku bisa segera pulang dan
menikah denganmu .” katamu tanpa menatapku.
“Empat tahun..”kataku lirih.
“Yah..”anggukmu.”Aku akan ambil gelar S-1 dan segera
pulang untukmu. Aku akan bekerja di desa dan membangun keluarga di desa ini
bersamamu.” Wajahmu memerah .”Aku akan bekerja keras agar kita bisa hidup
bahagia.”
“Bagiku..kaulah kebahagiaanku.” Aku mengambil
ranting lain dan menulis namamu di tanah. “Kau tak perlu bersekolah jauh ke
kota untuk membahagiakanku. Di kabupaten kan ada sekolah yang bagus dan
jaraknya hanya satu jam dari desa.”
“Tidak.” Kau menggeleng. “Sekolah di kabupaten belum
memiliki fasilitas dan tenaga pengajar seperti di kota. Selain itu jarak dan
ruang serta kesulitan hdup saat merantau akan membuatku jadi orang yang lebih
kuat. Aku ingin memajukan desa kita. Aku ingin membuatmu bangga. Aku ingin
membahagiakanmu.”
“Baiklah. Aku pasti akan mendukungmu.” Jawabku.
Hatiku bergetar bahagia mendengar janjimu.
“Kau akan menungguku kan?”
“Ya. Pasti.” Jawabku,” Selain itu hatiku pun sudah
kuberikan padamu.”
Kau tersenyum.”Aku juga.”
Malam itu pertemuan kita terakhir sebelum keberangkatanmu
ke kota. Kita tak sempat lagi bicara karena kau sibuk dengan persiapan kuliahmu
dan aku sibuk membantu ibuku dan ibu-ibu desa mempersiapkan bekal buat rombongan orang-orang
yang akan mengantarkanmu ke kota. Bahkan aku tak sempat melihat wajahmu saat
kau berangkat ke kota. Aku memendam rindu padamu sambil menghitung hari-hari
tanpamu dengan keyakinan kita akan bertemu lagi. Bagai menanti biji-biji kopi
memerah di musim ini.
“Kau tak pernah menelpon Agung,” Tanya Ajeng temanku.
Setelah dua tahun keberangkatanmu ke kota. Aku menggeleng. Kami duduk di tanah,
beristirahat setelah menyiangi rumput di kebun-kebun kopi milik orang tua kami.
“Kenapa?” Tanya Ajeng heran. Dahinya mengerenyit.
“Nur, dia sudah pergi dua tahun, dan kau tak pernah menelponnya sekali pun?”
Ajeng menggeleng-geleng tak percaya.
“Aku tidak punya telpon.” Jawabku. Aku memang tidak
punya telpon karena uang yang kumliki sebagian kukirim tiap bulan untuk
keperluan Agung melalui rekening orang tuanya dan sebagian lagi kutabung baik-baik
untuk keperluan mendesak. Kuharap uang itu bisa berguna untuk membantu Agung
nanti.
“Kenapa tidak beli?” Ajeng terlihat heran, “Nanti
Agung naksir cewek lain, lho”
Aku hanya tersenyum, “ Uangnya untuk keperluan
lain.”
Ajeng hanya geleng-geleng. “Aku tak habis pikir
denganmu, Nur. Telpon itu penting buat komunikasi. Kamu bisa ngobrol dengan
Agung.”
“Aku bisa pake telpon umum.”jawabku.
Ajeng mengangkat bahunya,” Terserah kau, deh.”
“Nanti aku beli kalau panen kopi.” Jawabku menepuk
bahu Ajeng,”Antar aku cari yang murah ya.”
“Nah, gitu dong. Kita harus menikmati hidup. Aku
tahu kamu menabung supaya bisa bantu biaya kuliah Agung, tapi bukan berarti kau
harus mengorbankan kesenanganmu.” Ajeng merangkul bahuku,” Eh, Agung tahu kamu
ikut membantu biaya kuliah dan berobat ibunya?” Aku menggeleng. Ajeng
menghembuskan napasnya. “Aku tahu kamu baik dan sayang pada Agung, Nur. Aku
juga tahu, kamu tidak mau membuat Agung khawatir agar dia dapat konsentrasi
dalam kuliahnya. Tapi, Agung perlu tahu kondisi keluarganya sekarang.”
“Itulah, Jeng. Aku mau Agung tenang kuliiahnya dan
menyelesaikan kuliahnya dengan baik hingga ia bisa cepat pulang ke desa.”
Kataku.
“Dan segera menikahimu, eh,” Ajeng menggodaku.
Pipiku memerah. Ah, rasanya tak sabar menantikan kepulangan Agung. Sudah dua
tahun. Tinggal dua tahun lagi. Hatiku berdetak penuh harap.
“Oya, Nur..ngomong-ngomong tentang program kita itu
gimana?”
“Program Anak Desa Membaca?” Ajeng mengangguk.
“Sudah siap,” Aku mengambil catatan jadwal mengajarku. Aku dan Ajeng membuat program
belajar membaca dan berhitung buat anak-anak untuk mengisi waktu dan membantu
anak-anak yang kesulitan belajar. Yang ikut hanya sepuluh anak, tapi lumayanlah
daripada anak-anak itu hanya main. Selain itu aku memang suka mengajar. Aku
juga suka anak-anak. Hatiku rasanya senang melihat senyum dan tawa mereka saat
belajar. Saat mata mereka penuh harap ketika kuceritakan bahwa banyak orang-orang
besar lahir dari orang yang hanya mempunyai semangat dan mimpi yang besar.
Paling tidak, Agung akan bangga denganku. Nanti, aku bisa mengajar di rumah
sambil menjaga anak kami, dan Agung bekerja di tempat impiannya.
“Apakah orang desa seperti kami bisa jadi orang
sukses, mba Nur?” Tanya Gandhi salah satu muridku.
“Bisa. Sangat bisa.” Jawabku.” Yang menentukan nasib
kita adalah kita sendiri. Yakinlah bahwa setiap usaha yang kita lakukan pasti
ada hasil.”
“Yah..contohnya kan banyak, ya mb Nur.” Aku
mengangguk.
“Ada yang bisa sebutkan?” kataku.
“Einsten.” Jawab Andi
“Jokowi.”jawab Susi. “Ridwan Kamil.” Jerit Toto. “Menteri Susi!” teriak
Tari. Aku tertawa dan tepuk tangan
“Baik. Kalian betul semua. Kita harus yakin dan
percaya bahwa kita semua pasti bisa sukses dan berhasil. Yang kita perlukan
adalah perjuangan dan pengorbanan yang didasari oleh cinta.”
“Hei!” Ajeng
menepuk pundakku.” Sudah selesai mengajarnya?” Aku mengangguk.
“Kenapa? Kau terlihat resah, Jeng.”
“Tidak. Aku hanya berfikir, Nur. Aku melihat apa
yang kau lakukan demi cita-cita dan mimpi Agung. Kau mengorbankan waktu dan
tenaga untuk keluarganya. Sementara Agung bahkan tidak pernah sekali pun
menghubungimu. Bagaimana jika Agung telah melupakan janjinya padamu, Nur?
Bagaimana jika Agung tidak kembali lagi ke desa ini. Bagaimana jika ia telah
memiliki harapan dan mimpi lain ? Bagaimana denganmu, Nur ?” Aku hanya terdiam
mendengar ucapan Ajeng. Aku tak berpikir sejauh itu. Tapi, aku berharap apapun
yang terjadi di masa depan adalah yang terbaik bagiku dan Agung. Aku menyadari
bahwa kita tak bisa mengendalikan apa yang orang lain harapkan atau pikirkan.
Kita hanya bisa berharap yang terbaik dan melakukan hal terbaik demi orang lain
dan diri kita sendiri.
Ajeng dan aku tenggelam dalam pikiran kami tentang
masa depan . Sementara, anak-anak didikku bermain dan tertawa dalam kebahagiaan
mereka. Angin bertiup tenang menerbangkan dedaunan. Sungguh, waktu terus
berjalan apa pun yang terjadi pada kita. Hidup terus akan berjalam, dan kita
hanya bisa terus menggenggam mimpi dan harapan dengan semangat yang ada.
“Nur, aku kemarin melihat Agung,” kata Ajeng lirih.
Ia menundukkan wajahnya, lalu memandang ke arah anak-anak yang bermain.
“Kenapa, Jeng. Cerita saja.” Aku tersenyum.
Merebahkan tubuhku di tanah yang dingin. Mataku menatap awan yang berarak di
balik pohon kopi yang rindang. Harum bunga kopi memenuhi udara. “Gimana
keadaannya. Agung sehat, kan?”
Ajeng menghembuskan napasnya.”Agung sehat. Dia juga
terlihat sangat bahagia.”
“Alhamdulillah,” kataku. “Tapi, kenapa kamu gusar,
Jeng?” Aku memandangi Ajeng heran. Ia memukulkan ranting kering kopi ke tanah.
Kebiasaannya saat kesal. Mirip Agung. “Kau marah karena Agung tidak menegurmu?”
“Tidak,” gelang Ajeng. Ia mematahkan ranting kopi
dan berdiri. “Aku kesal karena ia sepertinya tak mengingatmu sama sekali.” Aku
tertawa melihat Ajeng yang cemberut.
“Aku tahu.”
“Maksudmu?” Ajeng menatapku. Heran.
“Ya, aku tahu
kalau Agung tak selalu mengingatku.” Aku berkata tenang.
“Aku nggak tahu kenapa kamu begitu tenang dan kenapa
aku begitu kesal mendengarnya. Seolah aku peduli, “ Ajeng menggerutu.
“Sepertinya kau hanya ingin mengikat Agung dengan kebaikanmu..”
Dahiku berkerut. Ucapan Ajeng menyinggungku. Tapi,
aku hanya diam. Menahan diriku. Ajeng adalah sahabatku sejak kecil. Aku
mengerti ia kesal karena Agung yang seolah tak peduli padaku. Tapi, kenapa ia
begitu peduli?.
“Kamu yakin dengan janjinya?” Ajeng menggelengkan
kepalanya. “Kamu naïf kalau kamu berpikir begitu.”
Nama : Yoharisna
Email : yoha12isna@gmail.com
Fb : risna_yoha@yahoo.com
Ringkasan Cerita Kau dan Aku dan Mimpi
Cerita ini mengisahkan tentang seorang gadis desa yang sangat mencintai desa dan kekasihnya hingga bersedia membantunya mewujudkan mimpinya . Kondisi ekonomi keluarga yang tak begitu baik membuat sang gadis tak dapat menghubungi kekasihnya. Jarak dan waktu yang memisahkan membuat keraguan tumbuh di hari sang gadis.
Comments
Post a Comment