Kenangan Tentangku dan Kaca

 

Saat ini aku duduk menghadapi layar komputerku yang masih kosong melompong meski sudah kupandangi lebih dari 30 menit. Yah, 30 menit! Hanya kupandangi dengan titik pikir satu yaitu mencari ide cerita tentang “AKU DAN KENANGAN YANG PALING BERKESAN”. Pikiranku melayang mengingat – ingat tentang kenangan yang paling berkesan yang ingin kutulis untuk menjadi anggota grup ODOP yang lama kuidam-idamkan. Setelah kupikir – pikir, selama ini banyak kenangan yang mewarnai hidupku dan semuanya berarti membentuk diriku menjadi seperti hari ini. Jadi aku akan berbagi sedikit pengalamanku dalam dunia mengajar, dunia yang kucintai dan kujalani hingga hari ini. Cerita ini merupakan sepenggal cerita kecil di sela-sela mengajar.

Hari itu begitu terik, aku masih ingat dengan debu –debu yang berterbangan yang membatasi jarak pandangku. Berkali-kali aku harus mengedipkan mataku.  . Menghindari debu yang kadang bercampur daun atau batu halus.

“Kenapa,Bu?” Tanya seorang siswa yang memperhatikanku sejak tadi. Ia memandangi dengan heran.

“Tidak apa-apa.” Aku tersenyum. Sambil menepuk debu yang menempel di jilbabku dengan tisu yang kupegang. Anak itu hanya mengangkat bahunya dan berjalan ke arah kelasnya.

Seperti hari – hari biasanya, aku mengajar di kelas dan berbincang dengan teman – teman guru di kantor. Tak ada yang aneh dan luar biasa. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa. Entahlah, rasanya ada yang tidak pas. Aku menarik napas dan membuangnya pelan. Menenangkan hatiku. Aku harus berpikir positip.

“Bu, shalat yuk.” Ajak temanku. Bu Rani.

“Aku sedang tidak shalat hari ini,” jawabku. Bu Rani memandangiku lama. Seolah ada yang mengganjal di hatinya dan sulit untuk ia ucapkam.

“Kenapa, Bu Rani?” Aku tersenyum padanya. “Ada yang bisa kubantu.”

Bu Rani hanya tertawa pelan dan menggeleng. “Nanti aja, Bu,” katanya. “Aku mau shalat dulu.”

“Okey.” Kataku sambil menatap punggungnya yang menghilang di balik mushola. Aku penasaran. Bu Rani adalah orang yang sangat baik dan hampir tak ada masalah. Maksudku, dibanding dengan ibu-ibu lain yang kadang terlihat penuh drama dan arisan. You know, kadang sibuk dengan arisan sprei, baju, tas dan lain-lain. Sementara bu Rani adalah sosok sederhana yang setahuku tak pernah terlibat hutang. Krisis keuangan yang bisa buat pikiran tak menentu, jika tak bisa diatur dengan baik. Krisis yang membuat ibu-ibu perlu teman ngobrol.

Dengan sabar kumenunggu  bu Rani selesai shalat sambil membaca buku dan mengoreksi hasil ulangan siswa hari itu.

“Bu Yoha..” Aku mengangkat wajahku mendengar namaku dipanggil. Bu Rani kulihat mengambil cermin di dinding dan membawanya. Aku mengangkat alisku. Heran.

“Kenapa, Bu?” Bu Rani hanya menyodorkan cermin ke depan wajahku. Aku memandang wajahku di cermin dan melihat wajah seseorang yang penuh dengan debu hitam. Oya, aku lupa bilang kalau aku tipe orang yang tidak begitu  sensitif dengan beberapa hal. Kupikir hal ini termasuk salah satunya.

“Ya Allah, Bu,” tawaku sambil mengambil tisu yang ditawarkan bu Rani. “Pantas saja anak – anak tadi keliatannya sibuk bisik-bisik. Kenapa dari pagi tidak ada yang bilang.”

“Mungkin mereka tidak enak, Bu.’ Kata bu Rani sambil tersenyum dan membantuku membersihkan wajahku.

“Seharian aku ngajar dengan wajah begini,” aku tertawa dengan gemas. “Herannya, aku juga tidak berkaca sejak pagi.”

“Namanya lupa, Bu..” Bu Rani hanya tersenyum. Aku yakin, senyumnya tidak hilang sampai besok. Aku menepuk dahiku dan membayangkan senyum siswa didikku mengingatku hari ini.

 

Bandar Lampung, 21 Agustus 2018

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Kau, Aku dan Mimpi